Oleh : Yoga Prayoga
anggota KEMBALIKAN, UPI sejarah 2011
![]() |
Gaura Mancadipura, Si Dalang Bule |
Kampung halaman saya bernama Bungbulang, sebuah kecamatan di arah selatan Kabupaten Garut. Disana, untuk urusan wisata, apapun tersedia lengkap, mulai dari wisata pemandian air panas, gunung untuk mountainering, sungai tempat berarung jeram, situ/danau kecil untuk wisata pancing, hingga hal-hal yang berbau klenik pun tersedia. Oh ya satu lagi, pantai. Kampung halaman saya amat dekat jaraknya dengan pantai. Objek wisata inilah yang akan saya bahas secara mendalam.
Sebelum mengembara ke Bandung, saya menghabiskan 12 tahun usia saya di Bungbulang, sejak kelas satu SD hingga lulus SMA. Sebuah tenggat waktu yang cukup lama untuk beradaptasi, mengenal, hingga akhirnya jatuh cinta.
Ya, saya sangat mencintai asal-muasal saya itu. Barangkali inilah bentuk keberhasilan sosialisasi serta internaliasasi lingkungan tempat dulu saya berpijak. Tetsuko Kuroyanagi atau yang lebih dikenal dengan Toto Chan dalam bukunya yang berjudul Gadis Cilik di Jendela mengatakan bahwa pendidikan haruslah disesuaikan dengan tempat seseorang berada. Bila ia besar di lingkungan perkotaan, maka ajarkanlah ia agar mencintai keramaian serta kerlap-kerlip lampu-lampu kota di malam hari. Bila ia dibesarkan di lingkungan pegunungan, maka ajarkan ia agar mencintai hutan-hutan serta riak air sungainya. Bila ia dibesarkan di lingkungan pantai, maka ajarkanlah ia agar mencintai debur ombak serta butiran pasir. Dan, nampaknya lingkungan saya cukup berhasil mengajarkan itu. Saya yang dibesarkan di Bungbulang, kini sungguh mencintainya dengan sepenuh hati, dengan segenap jiwa.
Baik, kita kembali ke pokok pembahasan utama, tentang pantai. Jarak antara rumah saya dengan pantai relatif cukup dekat. Bisa ditempuh dalam waktu 1,5 jam menggunakan kendaraan umum yangmenggelinding di jalan yang lebih mirip sungai yang kering. Atau sekitar satu jam bila jalannya belum lama diaspal. Semakin baik kondisi jalan, maka semakin cepat pula waktu tempuh yang dibutuhkan. Tapi, asal saudara tahu, perbaikan jalan disana hanya terjadi tiap menjelang pemilihan bupati.
Perkenalan saya dengan pantai terjadi sekitar 11 tahun lalu, ketika saya menginjak bangku kelas dua SD. Saat itu, saya masih berlari terbirit-birit bila ombak hendak mendekat. Oleh karenanya, saya hanya bisa bermain lempar-lemparan batu, sejauh mungkin, dengan harapan bisa menimpuk kepala Ratu Kidul yang sering disebut-sebut orang.
Dulu, keluar-masuk pantai masih bersifat gratis alias tanpa biaya sepeser pun, sebelum akhirnya, kini, para juragan investor datang. Mereka memborong tanah-tanah para nelayan. Mereka membangun penginapan-penginapan. Hasilnya, warga sekitar yang sebelumnya menetap di sepanjang pantai harus angkat kaki ke arah yang lebih tinggi, ke arah yang kurang bernilai ekonomi.
Setelah itu, investasi semakin menjadi-jadi. Konon katanya, nanti akan dibangun mall, akan dibangun hotel, akan dibangun rel kereta api. Dengan kata lain, pantai disana akan serupa dengan pantai-pantai di Andalusia, Spanyol serta pantai-pantai di Amerika, lengkap, segala ada.
Hal ini kemudian tercium oleh para pemangku kuasa. Maka, muncullah hasrat untuk memekarkan diri, berpisah dari kabupaten Garut, dan akan membangun pemerintahan baru yang memiliki otonomi. Katanya, “dengan pariwisata saja kita bisa jadi kabupaten yang kaya”. Ya, demikian percaya diri. Tapi tetap saja, semua karena urusan isi perut belaka, alias ekonomi.
Saya jadi teringat sebuah sajak yang ditulis oleh W.S. Rendra, yakni Sajak Sebotol Bir. Kata Rendra dalam sajak tersebut, Apakah pilihan lain dari industri hanyalah pariwisata?.Selanjutnya masih dalam sajak itu Rendra berkata lagi, Kita telah dikuasai satu mimpi untuk menjadi orang lain. Kita telah menjadi asing di tanah leluhur sendiri. Andai para pemangku kuasa sudi sejenak saja menengok sastra, sungguh keadaannya akan sangat berbeda.
******
Sejak tahun 2011, saya hijrah ke Bandung. Di Bandung, keseharian saya adalah menuntut ilmu sambilmengasuh anak-anak SMA. Bersama mereka saya berbagi ilmu tentang sejarah, sosiologi, dan sastra.
Saya punya seorang rekan sesama pengasuh di SMA tersebut. Ia seorang Amerika bernama David, namun lebih akrab saya panggil dengan sebutan Mang David. Usianya terbilang cukup muda, baru kepala tiga.
Di sela-sela waktu luang, kami sering berbincang. Ia sangat mahir berbahasa Inggris. Saya belajar padanya, sekalipun masih cas-cis-cus tanpa tata bahasa yang tepat. Tapi, sekalipun demikian ia cukup mengerti apa yang saya utarakan.
Pernah suatu kali dalam perbincangan ia mengatakan,”I’d been borred with all about my habbits. I’m looking for something unique”. Kata Mang David, “Saya telah merasa bosan dengan keseharian saya. Saya mencari sesuatu yang unik”. Keseharian yang dimaksud olehnya adalah segala sesuatu yang sudah ada di kampung halamannya, Amerika. Ia sudah tak tertarik lagi dengan yang namanya mall, hotel, kemacetan jalan raya, dan hal-hal lain yang biasa ia temukan di Amerika. Ia mencari sesuatu yang lain, yang unik, yang belum pernah ia rasakan.
Kemudian, saya ajak ia untuk pergi ke kampung halaman saya di Bungbulang. Setelah saya ceritakan segala perkara mengenai kampung halaman saya itu, ia menunjukan ketertarikan. Tak disangka, Mang David nampak sangat antusias. Ia ingin merasakan bagaimana sensasi berenang di sungai yang jernih bersama anak-anak desa. Ia ingin membajak sawah dengan menggunakan kerbau bersama para petani. Ia ingin naik perahu berburu ikan bersama para nelayan.
Akhirnya, di akhir perbincangan tersebut, ia sepakat untuk ikut bersama saya jika musim mudik nanti telah tiba. Tujuannya sederhana, ingin sesuatu yang baru, sesuatu yang takkan bisa ia temukan di kampung halamannya, Amerika.
Keinginan Mang David memang bukan berarti keinginan semua turis mancanegara. Tanpa penelitian ilmiah, hal itu tidak bisa kita generalisasikan.
Namun kiranya secara logika, tidak mungkin para turis dari seluruh penjuru dunia sudi datang ke Indonesia bila hanya untuk hal yang itu-itu saja, hal yang biasa mereka temukan di negeri asalnya. Tentu mereka mencari sesuatu yang baru, sesuatu yang benar-benar Indonesia.
Perbincangan dengan Mang David malah membuat saya pesimis. Apakah pembangunan mall, hotel, rel kereta api, dan lain-lain sebagaimana yang hendak dilakukan di kampung halaman saya akan menjadi sesuatu yang dicari-cari oleh para turis mancanegara?. Apakah orang-orang seperti Mang David akan rela menukar waktu serta hartanya untuk sekedar mengunjungi pantai-pantai yang notabene hampir sama keadaannya dengan yang ada di negeri mereka?
Semuanya kini hanya jadi gudang fakta di benak saya. Tapi satu hal yang jelas, seperti dikatakan Mang David,”I’d been borred with all about my habbits. I’m looking for something unique”
0 komentar:
Posting Komentar